Indonesia
yang berada di wilayah tropis memiliki dua periode musim, yaitu musim hujan dan
musim kemarau. Kedua musim yang dibedakan berdasarkan intensitas curah hujan
tersebut masing-masing memiliki “tantangan” saat mencapai masa puncak atau
mengalami durasi yang lebih lama dari normalnya.
Saat
mulai memasuki musim kemarau, beberapa wilayah di Indonesia bersiap-siap
waspada menghadapi fenomena kekeringan dan/ atau kebakaran hutan dan lahan
(karhutla). Saat musim kemarau, beberapa wilayah di Pulau Jawa, yang memiliki
tingkat kepadatan penduduk tinggi, mengalami kekurangan air karena rendahnya
curah hujan. Selain itu, saat musim kemarau, wilayah Riau dan sekitarnya dan
beberapa wilayah di Pulau Kalimantan juga waspada menghadapi fenomena karhutla
yang terjadi setiap tahun.
Setiap
tahun, BMKG mengeluarkan informasi prakiraan musim hujan dan musim kemarau agar
pemerintah, pusat dan daerah, serta pihak-pihak terkait dapat mengantisipasi
melalui tindakana mitigasi bencana. Pada awal Maret 2019, BMKG telah
mengeluarkan (press release) informasi awal musim kemarau 2019.
Berdasarkan pantauan perkembangan musim hujan hingga akhir Februari 2019
menunjukkan bahwa seluruh wilayah Indonesia telah memasuki musim hujan.
Datangnya awal musim kemarau 2019 berkaitan dengan peralihan Angin Baratan
(Monsun Asia) menjadi Angin Timuran (Monsun Australia) yang dimulai dari
wilayah Nusa Tenggara pada Maret 2019, lalu Bali dan Jawa pada April 2019,
kemudian sebagian wilayah Kalimantan dan Sulawesi pada Mei 2019 hingga akhirnya
Monsun Australia sepenuhnya dominan di wilayah Indonesia pada Juni s/d Agustus
2019. Secara umum, puncak musim kemarau diprediksi akan terjadi pada Agustus –
September 2019. Imbaauan juga disampaikan kepada pemerintah daerah, institusi
terkait, dan masyarakat untuk waspada dan bersiap terhadap kemungkinan dampak
musim kemarau terutama wilayah yang rentan terhadap bencana kekeringan
meteorologis, ketersediaan air bersih, dan karhutla.
Awal Musim Hujan “Mundur”
Pada
Oktober 2018, BMKG memprediksi akan terjadinya El Nino lemah pada tahun 2019.
Hasil pantauan dan analisis BMKG sampai dengan Agustus 2019 menunjukkan bahwa
El Nino lemah telah berakhir, yang berarti bahwa anomali suhu muka air laut
(SST) di Samudera Pasifik kembali menjadi netral. Kondisi ini diperkirakan
bertahan sampai dengan akhir tahun 2019.
Namun,
adanya pengaruh SST di wilayah Samudera Hindia sebelah barat Sumatera dan
perairan Indonesia di bagian selatan equator yang lebih dingin dari suhu normal
mengakibatkan proses penguapan air laut lebih sulit terjadi, pembentukan
awan-awan hujan menjadi berkurang, sehingga curah hujan menjadi rendah. Kondisi
ini diperkirakan akan berlangsung sampai dengan Oktober 2019, yang berarti
bahwa awal musim hujan diprakirakan mengalami kemunduran 10 – 30 hari dari
waktu normalnya.
Waspada Karhutla
BMKG
menghimbau masyarakat, pemerintah daerah, dan instansi terkait untuk tetap mewaspadai
sebaran titik panas guna menghidari terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Titik
panas adalah suatu area yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan sekitarnya
yang dapat dideteksi oleh satelit cuaca. Titik panas tidak dapat diartikan
sebagai daerah berpotensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) karena titik
panas dapat berasal dari aktivitas gunung api, aktivitas perkotaan yang
ekstrim, aktivitas tambang, dan sebagainya.
Informasi
titik panas dianalisis oleh BMKG berdasarkan citra satelit Terra Aqua (MODIS)
dari LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) dan satelit Himwari-8
dari JMA (Japan Meteorological Agency).
Kondisi
atmosfer dan cuaca yang relatif kering pada puncak musim kemarau dapat
menyebabkan tanaman, khususnya yang sudah kering, menjadi mudah terbakar.
Selain itu, adanya aktivitas pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertanian
dengan cara membakar juga menjadi masalah yang rutin terjadi. Menghadapi
fenomena karhutla, BMKG dan instansi terkait telah membangun dan mengembangkan Fire
Danger Rating System (FDRS) untuk memberikan informasi peringatan dini
berupa monitoring sebaran asap dan prediksi zona kemudahan terbakar sampai
dengan 7 hari kedepan.
Ganggu Aktivitas Penerbangan
Fenomena
karhutla membawa dampak besar bagi aktivitas masyarakat. Di bidang lingkungan
dan kesehatan, asap yang ditimbulkan oleh karhutla menjadi polutan di udara dalam jumlah yang sangat besar dan
berbahaya bagi kesehatan masyarakat karena dapat menyebabkan gangguan
pernafasan dan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut).
Dalam
dunia penerbangan, kabut asap akibat karhutla menyebabkan terjadinya gangguan
aktivitas penerbangan di bandara terdampak. Wilayah Riau dan sekitarnya serta
Pulau Kalimantan merupakan beberapa wilayah yang secara rutin menghadapi
gangguan penerbangan akibat kabut asap. Selain transportasi udara, kabut asap
juga mengganggu kelancaran aktivitas transportasi darat dan sungai. Terbatasnya
jarak pandang (visibility) merupakan salah satu dampak kabut asap yang
dapat membahayakan bahkan melumpuhkan aktivitas transportasi, baik di darat,
laut, dan udara.
Untuk
wilayah Sumatera Utara, khususnya di Bandara Kualanamu, yang perlu diantisipasi
adalah kiriman asap dari karhutla yang terjadi di wilayah Riau dan sekitarnya. Pada
musim kemarau, pola angin di wilayah Sumatera Utara dominan berasal dari arah
Tenggara. Pola pergerakan angin ini mendorong arah penyebaran (trajektori) asap
dari wilayah Riau dan wilayah di bagian selatan Sumatera menuju wilayah
Sumatera Utara. Selain kabut asap kiriman, perlu juga mengantisipasi
terbentuknya titik panas di wilayah Sumatera Utara akibat pembukaan lahan dengan
cara membakar.
Layanan Informasi Karhutla
BMKG
sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
meteorologi, klimatologi, dan geofisika secara rutin memberikan layanan
informasi cuaca dan iklim kepada instansi terkait dan masyarakat sebagai bagian
dalam mitigasi karhutla.
BMKG
secara rutin memberikan prakiraan, analisis, dan informasi iklim meliputi prediksi
awal musim kemarau dan musim hujan, serta dilengkapi dengan informasi potensi
kekeringan meteorologis maupun informasi curah hujan tinggi (potensi banjir) di
wilayah Indonesia sebagai bagian dalam Climate Early Warning System (Ina-CEWS).
Saat
memasuki musim kemarau, BMKG memberikan informasi cuaca sebagai pendukung
kelancaran kegiatan mitigasi karhutla. Selain itu, BMKG juga memberikan layanan
produk informasi berbasis data satelit yang dalam rangka mitigasi karhutla di
Indonesia, yaitu citra sebaran asap, Geo-Hotspot untuk mendeteksi titik panas,
dan peta sebaran titik panas di wilayah Indonesia.
Gambar 1. Contoh
informasi citra sebaran asap
Gambar 2. Contoh informasi Geo-Hotspot
Gambar 3. Contoh Tabel Hotspot Yang Terdeteksi dengan
Tingkat Kepercayaan Tinggi
(81-100%)
(a)
(b)
Gambar 4. Contoh peta sebaran titik panas;
(a) di wilayah bagian barat
Indonesia dan (b) di wilayah bagian timur Indonesia
Referensi:
§
Artikel BMKG tanggal 06 Maret
2019, Awal Musim Kemarau 2019 Mulai di Bulan April, diakses pada halaman
web www.bmkg.go.id
§
Artikel BMKG tanggal 27 Juni
2019, Potensi Kekeringan Meteorologis di Beberapa Wilayah di Indonesia, diakses
pada halaman web www.bmkg.go.id
§
Artikel BMKG tanggal 07
Agustus 2019, Sebaran Titik Panas Meluas, BMKG Minta Masyarakat Waspada
Karhutla, diakses pada halaman web www.bmkg.go.id
Di Indonesia untungnya ada pada musim hujan dan musim kemarau
ReplyDelete